Bencana Sumatera yang Tak Kunjung Diakui Bencana Nasional: Jeritan Sunyi dari Sumatera

Target Seksama - Sumatera kembali menangis di ahkir tahun 2025 ini. Karna di sebagian besar wilayah Sumatera mengalami bencana alam yang begitu mencengkamkan, yang memakan banyak korban dan menghancurkan fasilitas. Yang menjadi pertanyaan bagi saya adalah mengapa bencana ini begitu besar? Jadi mematikan? Padahal kita sudah tahu bahwa setiap tahun itu pasti curah hujan bakalan tinggi di ahkir tahunnya, apakah tidak belajar untuk antisipasi terhadap curah hujan dari kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi? Saya rasa dengan melihat keadaan sekarang sudah terjawablah pertanyaan saya ini. Dan apakah ini murni bencana alam? Atau bencana dari keserakahan manusia? Jawabannya akan dijelaskan dibawah ini. 

Tragedi Sumatera: alam runtuh, warga menderita, negara masih diam


Tidak ada bencana yang benar-benar datang tanpa sebuah tanda, alam jarang sekali meledak tanpa sebuah peringatan. Alam selalu memberi kita tanda, mulai dari yang halus sampai yang paling jelas. Hanya kita saja yang tidak memperhatikannya. Dan curah hujan yang tinggi hanyalah pemicu ahkir dari perjalanan panjang atas ketamakan manusia menuju alam. 

Menurut informasi dari media kompas pada tanggal 03 Desember 2025 memberi tahukan banjir dan longsor di Sumatera memakan korban hingga mencapai angka 770 orang meninggal lalu 463 orang lainnya masih belum ditemukan. Angka-angka bukan sekedar statistik tapi ini merupakan nyawa yang hilang, keluarga yang hancur, dan masa depan sirna hanyut dibawa galodo. Dan angka ini menegaskan satu hal yang penting bahwasanya skala bencananya sudah melampaui kategori bencana biasa, namun ironisnya setelah tersebarnya berita ini di media-media, namun nihil pemerintah masih belum juga mengumumkan bencana ini dengan Skala Nasional, seolah-olah kerusakan dan penderitaan yang dirasakan oleh masyarakat masih belum cukup untuk menggerak perhatian penuh dari negara. 

Namun sebelum lebih jauh lagi kita berbicara tentang kebijakan dan lemahnya respon negara terhadap korban, saya coba mundur untuk melihat apa akar permasalahan dari bencana ini, sesuai dengan pertanyaan saya diatas tadi. Badan Nasional Penanggulangan Bencana atau BNPB dalam rilisan yang dikutip oleh media Tempo pada hari Minggu, 30 November 2025 melaporkan bahwa 4 kabupaten di Sumatera Utara mengalami banjir dan longsor secara bersamaan. 

BNPB mengakui bahwa intensitas hujan memang tinggi, namun juga menegaskan bahwa struktur geomorfologi wilayah itu sudah tidak lagi stabil, yang mana ekologi telah bertahun-tahun mengalami tekanan. Yakni mulai dari penggundulan hutan, pembukaan lahan yang agresif, aktivitas penambangan yang dibiarkan berlansung tanpa kendali. Jadi, bahwasanya hujan itu bukanlah penyebab utama bencana ini. Yang menyebabkan bencana ini adalah ketamakan manusia terhadap hutan sehingga hilangya kemampuan alam untuk melindungi diri sendiri, kemampuan yang dulu dimiliki oleh hutan-hutan rimba Sumatera yang sekarang sudah hampir habis di eksploitasi oleh manusia, dan kini hanya tinggal potongan-potongan kecil dari rimbunya hutan rimba Sumatera waktu dulu. 

Kalau saya lihat pada data konsorsium pemantau lingkungan Eyes On Tha Forest (EoF) Sumatera, terutama wilayah Sumatera Utara, Riau, dan Jambi telah kehilangan jutaan hektar hutan primer sejak dekade 1980-an. Banyak kerugian tersebut terjadi akibat perluasan perkebunan kelapa sawit, industri kayu, kebakaran hutan dan pengembangan ilegal yang tidak henti-hentinya sampai saat ini. Kalau pemerintah benar-benar peduli terhadap keselamatan rakyat, seharusnya menghentikan segala bentuk eksploitasi terhadap alam. 

Hutan yang dulu menjadi paru-paru Sumatera kini tinggal menjadi sisa-sisa napas yang tersengal yang seharusnya berfungsi sebagai spons alami yang menyerap udara hujan sehingga menahan udara, lalu menjaga kestabilan tanah yang mana kini berubah menjadi hamparan lahan yang terbuka. Bencana alam yang terjadi sekarang ini merupakan fase terakhir dari proses panjang yang selama ini bekerja diam-diam di bawah permukaan. Tragedi ini tidak muncul secara tiba-tiba, ia adalah buah pahit dari keputusan keputusan yang salah kaprah. Dan terkhusus deforestasi sebenarnya sudah lama diperingatkan. Walhi Sumatera Utara dalam laporannya tahun 2023-2024 menjabarkan bahwa sejumlah titik rawan longsor sebenarnya sudah dalam kategori darurat ekologis. 

Akhir dari bencana alam ini yang menjadi korbannya....lagi dan lagi adalah mayasrakat biasa. Yang membuat saya begitu sedih adalah melihat perempuan, anak-anak dan binatang yang menjadi korban dari kerusakan ekologis. 

Bencana yang terjadi di Pulau Sumatera jelas bukanlah bencana pertama, karna pada tahun-tahun sebelumnya bisa kita lihat pola yang sama yaitu penebangan hutan secara pembohong, izin tambang dikeluarkan, bukit dirusak, sehingga ketika hujan dengan curah hujan yang tinggi sehingga mengakibatkan bencana datang, lalu rakyat yang tidak berdosa lagi menjadi korban. Jadi bencana ini bukan hanya terjadi karena alam sedang murka, namun karena pemerintah yang memilih menutup mata bertahun-tahun. Setelah bencana alam ini terjadi, alih-alih pemerintah fokus untuk menyelamatkan warga, yang datang sering kali adalah rombongan yang lengkap dengan kamera, bukan solusi. 

Kesimpulannya perlahan-lahan muncul dari setiap kisah yang saya telusuri dan teman-teman juga bisa mencarinya. Bahwa masalah utama dari bencana alam ini bukanlah ketiadaan hutan sebagai pelindung. Namun masalahnya adalah ketiadaan niat baik para-para pejabat yang berkepentingan untuk menjaga hutan.

Posting Komentar untuk "Bencana Sumatera yang Tak Kunjung Diakui Bencana Nasional: Jeritan Sunyi dari Sumatera"