Membedah UU ITE Terbaru: Inilah Perubahan Penting dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2024
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2024 tentang
Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan
Transaksi Elektronik (ITE) resmi berlaku pada 2 Januari 2024. Revisi ini
menjadi langkah pemerintah dalam menjawab kritik publik terhadap sejumlah pasal
UU ITE yang dinilai multitafsir dan rawan digunakan untuk membatasi kebebasan
berekspresi.
UU ITE terbaru memuat pembaruan yang
signifikan, baik dari aspek pengaturan sanksi, perlindungan pengguna, hingga
penguatan alat bukti digital dalam proses penegakan hukum. Berikut rangkuman
dan pembahasan lengkapnya.
Latar Belakang Revisi
UU ITE pertama kali lahir pada 2008 dan
diperbarui pada 2016 melalui UU Nomor 19 Tahun 2016. Namun, berbagai kalangan,
mulai dari akademisi, jurnalis, hingga aktivis kebebasan berekspresi, terus
menyuarakan kekhawatiran terhadap sejumlah ketentuannya, terutama Pasal 27
tentang pencemaran nama baik dan Pasal 28 tentang ujaran kebencian.
Pemerintah kemudian melakukan revisi kedua
melalui UU Nomor 1 Tahun 2024. Langkah ini diharapkan menjadi titik
keseimbangan antara perlindungan hukum, kepastian transaksi digital, dan
kebebasan berekspresi.
Pokok Perubahan dan Penambahan Penting
1. Penguatan dan Perluasan Alat Bukti
Elektronik
Salah satu fokus utama UU Nomor 1 Tahun
2024 adalah penguatan posisi alat bukti elektronik dalam proses penegakan
hukum. Pasal 5 dan Pasal 6 menegaskan bahwa informasi elektronik dan dokumen
elektronik diakui memiliki kekuatan hukum sah sebagai alat bukti, setara dengan
dokumen tertulis konvensional.
Selain itu, perluasan alat bukti juga
mencakup rekaman aktivitas elektronik, data lalu lintas transaksi elektronik,
informasi hasil audit sistem elektronik, dan metode forensik digital yang
diakui oleh lembaga berwenang. Ketentuan ini menjadi landasan penting bagi
penyidik dan lembaga peradilan dalam membuktikan tindak pidana berbasis
elektronik.
2. Pengaturan Sertifikasi Elektronik Lebih
Komprehensif
UU ITE terbaru memperkuat ketentuan
penyelenggara sertifikasi elektronik. Pasal 13A memuat pengaturan detail
mengenai tanda tangan elektronik, segel elektronik, penanda waktu elektronik,
otentikasi situs, identitas digital, dan layanan preservasi sertifikat
elektronik.
Penyelenggara sertifikasi elektronik wajib
berbadan hukum Indonesia dan memiliki izin sesuai peraturan perundang-undangan.
Pengaturan ini diharapkan meningkatkan kepercayaan publik terhadap legalitas
transaksi digital.
3. Perlindungan Khusus bagi Anak di Ruang
Digital
Pasal 16A dan 16B mengatur kewajiban
penyelenggara sistem elektronik untuk memastikan adanya verifikasi usia
pengguna anak, memberikan informasi yang jelas tentang potensi dampak buruk
layanan, serta menyediakan mekanisme pelaporan konten yang melanggar hak anak.
Jika kewajiban ini diabaikan, penyelenggara
dapat dikenai sanksi administratif berupa teguran, denda, hingga pemutusan
akses layanan.
4. Kontrak Elektronik Lintas Negara
Pasal 18A menegaskan bahwa kontrak
elektronik antarnegara tetap sah dan diakui sepanjang tidak bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan di Indonesia. Ketentuan ini memperluas kepastian
hukum bagi pelaku usaha digital yang menjalankan transaksi lintas batas.
5. Revisi Ketentuan Pencemaran Nama Baik
dan Ujaran Kebencian
Salah satu pembaruan paling krusial adalah
penataan ulang pasal yang kerap menuai kritik, yaitu Pasal 27A dan 27B yang
menggantikan ketentuan lama mengenai penghinaan dan pencemaran nama baik.
Penjelasan norma diperjelas, termasuk unsur
perbuatan, motif, dan pihak yang dapat dikategorikan sebagai korban. Tujuannya
agar tidak semua ekspresi atau kritik publik dapat ditafsirkan sebagai tindak
pidana.
Pasal 28 ayat (2) juga direvisi untuk
memastikan bahwa ujaran kebencian hanya berlaku jika tindakan tersebut memicu
diskriminasi, permusuhan, atau kekerasan nyata berdasarkan suku, agama, ras,
dan antar golongan (SARA).
Dengan revisi ini, pemerintah ingin
memastikan ketentuan pidana tidak lagi multitafsir dan lebih tepat sasaran.
6. Tanggung Jawab Pemerintah Menciptakan
Ekosistem Digital Aman
Pasal 40A mempertegas kewajiban pemerintah
untuk menjamin penyelenggaraan sistem elektronik yang aman dan transparan,
mencegah penyalahgunaan data pengguna, serta mengedukasi masyarakat mengenai
etika dan regulasi penggunaan internet.
Dampak UU ITE 2024 terhadap Masyarakat dan Dunia Usaha
Berlakunya UU Nomor 1 Tahun 2024 membawa
konsekuensi langsung bagi berbagai pihak. Masyarakat umum perlu lebih memahami
batasan kebebasan berekspresi, khususnya terkait penyebaran informasi di media
sosial. Pelaku usaha digital memiliki kepastian hukum lebih jelas atas kontrak
elektronik, tanda tangan digital, dan perlindungan data.
Penyelenggara platform diwajibkan
menerapkan verifikasi usia dan kebijakan perlindungan anak. Sementara itu,
penegak hukum memiliki dasar yang lebih kuat dalam menggunakan bukti elektronik
secara sah dan akuntabel.
Kritik dan Tantangan Implementasi
Meskipun revisi ini disambut positif,
sejumlah pihak menilai tantangan terbesar terletak pada implementasi di
lapangan. Tanpa pedoman teknis dan pengawasan yang ketat, pasal-pasal tertentu
tetap berpotensi disalahgunakan. Pemerintah perlu segera menerbitkan peraturan
turunan dan melakukan sosialisasi secara luas agar norma hukum ini diterapkan
secara adil dan konsisten.
Penutup
UU Nomor 1 Tahun 2024 menjadi tonggak
penting dalam upaya menciptakan ruang digital Indonesia yang lebih adil, aman,
dan akuntabel. Masyarakat, pelaku usaha, dan penyelenggara platform dituntut
proaktif mempelajari ketentuan terbaru ini agar aktivitas digital tetap
berjalan dalam koridor hukum.
Untuk memperoleh dokumen resmi dan teks
lengkap undang-undang, masyarakat dapat mengakses situs peraturan.bpk.go.id.
Posting Komentar untuk " Membedah UU ITE Terbaru: Inilah Perubahan Penting dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2024"